Belajar Pasrah dari Kotaku

Di kotaku, bersahabat itu tergantung pada kesamaan keyakinan. Berbicara berbeda akan dituduh melawan kebanyakan. Kotaku kini hilang. Di sudut kucari, kosong. Hampa!

Di kotaku, berbuat baik, akan dilawan, dibubarkan! Di zaman edan, membantu orang, harus minta ijin orang banyak! Kalau perlu, Tuhan akan dituntut bayar untuk surat ijinnya!

Di kotaku, menjalani hidup itu harus diam. Mulut terkunci rapat, bibir bisu sunyi. Sedikit bersuara, dicap rusak tatanan kenyamanan. Perbedaan tak boleh disentuh apalagi diomongkan! Kuingin hangat mememenuhi!

Aku harus bagaimana lagi, di kotaku kini, kepalaku dituntut menunduk. Wajah harus terpasang nanar di setiap waktu. Hanya boleh mendongak sesekali, kalau Tuhan memanggil dari langit. Terkutuk!

Di kotaku, sialnya, aku harus pura-pura merasa nyaman dan bahagia! Di kotaku, aku hanya bisa merintih tanpa diijinkan mengaduh. Semoga tak abadi!

Di kotaku, hatiku akrab berkawan dengan rasa takut dan merelakan! Aku hanya ingin hidup, bernyanyi damai!

Permintaanku tak banyak, ijinkan aku sepanjang waktu untuk mencium mekar harum bunga Tuan…

Jogja/5/2/2018

Menopang

Pada lengkung sungai, beribu pertanyaan begitu membanjir saat ini dan kedua tanganku tak sanggup membendungnya lagi. Tenggelam dalam penasaran.

Dengan lengkung malam, kukeluhkan rengkuh gelap tak pasti ternyata begitu pekatnya, dan sedikitpun tak mampu mencari terangnya lagi. Meraba-raba ketakpastian.

Di hening pagi, aku mengaduh, dingin sepi begitu membekukan kenangan, dan  kulitku pun tak sanggup menepisnya. Mengusirnya!

Pada siang hari, aku menghujat panas cahaya begitu menyimak tubuhku, terbakar peluh dunia, dan seluruh bajuku sia-sia, tak juga sanggup menutupinya. Aku tahu takkan bisa.

Kepada batu-batu kali yang kulempar, aku mencaci. Ampuni amarahku atas waktu yang terus memberat, menindihku agar tak bisa terus berjalan lagi bersama waktu hingga kedua kakiku tak mampu menopangnya…

Jogja, 19/12

Pencarianku

Mematung, diam seperti gunung. Tak acuh sekitar. Abadi.

Berlari, menyontek desis angin malam, yang sering mampir pada tengkuk-tengkuk lupa ditutup syal. Gigil.

Bernyanyi, menguar meniru bunyi rapat hujan lebat, mendominasi ruang udara telinga

Berbicara, mendengar lepas suara terbebas pada bising jalan raya, sesak bising mesin kendaraan. Ingar

Meloncat, menangkap lincah gesit kaki kecoa dari tiang ke dinding. Tak terpeleset.

Ini pencarianku yang aku tak mengerti

Mencari, tak ada yang dicari.

Aku tak mengerti.Bosan…

Jogja, 22/11/2017

 

 

Akhirnya, Kita Itu Pernah Jumawa

Kita tak pernah mampu memastikan, di mana kita tua dan beruban nanti. Tak pernah tahu, ke mana perginya kedua telapak kaki kisut kita saat itu, meski hanya memastikan warna selop yang akan dipakai untuk ke kamar mandi.

Mereka semua- yang di pinggir jalan, sekolah, atau universitas- pun tidak tahu sesungguhnya, ke mana perginya masa tua itu. Beberapa sungguh percaya pada mimpi panjangnya dan rencana terbaiknya, yang ditulis pada buku-buku agenda atau agen-agen asuransi yang receh berkata-kata tentang kebebasan dari kesusahan.

Di ranjang, pikiran kita sering berbicara berlari terlalu jauh, menidurkan lelap pertanyaan-pertanyaan tempat kita hidup. Di mana, aku harus menyembuhkan kecemasan ini. Berikan aku petunjuknya, meski sebuah dekapan. Aku tidak yakin tentang hal ini.

Di bawah guyuran hujan lebat, tubuhku sering menahan kedinginan. Merasa lemah seperti sudah tua sebelum waktunya. Tuhan, aku takut kegigilan itu. Rasa hangat begitu tumpas.

Berikan aku musim panas sepanjang tahun, kalau pun hujan, rintiklah. Tak perlu terdengar gema deras suaranya di kebun-kebun kosong, luap pada selokan-selokan yang lupa di bersihkan dari mampat sampah plastik.

Aku hanya ingin merasakan kehidupan yang nyata, merasakan rumah yang kutinggali nanti. Aku tak perlu punya banyak kehidupan, aku hanya ingin sederhana. Merasakan dan kontak dengan tanah di sekitar kakiku.

Tutuplah matamu, jangan kau sampai melihat tangisku. Kita semua memang sedang berusaha. Kini aku duduk dan menanti, apakah malaikat itu benar-benar menentukan semua takdirku. (Jogja, 3/10/2017)

Sore Tanpa Arti, Angin Lalu

Sekeliling terlihat diam. Terdengar desis lengang, waktu lambat.

Tak ada motor melintas di jalan depan. Orang lewat pun nihil. Kosong pergerakan apalagi lari anjing dan kucing loncat.

Biasanya, aku suka saat sore. Banyak badan bau wangi sabun sehabis mandi. Baju-baju tercium harum, licin sehabis disetrika. Wajah-wajah bersih bermunculan. Jiwa-jiwa terasa segar, pulih dari penatnya kerja sehari-hari. Namun, kali ini, lain.

Sesekali, kuingat anak perempuan kecil. Jelang hari petang, ia suka menari-nari di tengah jalan yang sepi dengan sandal jepit mungilnya yang bersih sehabis disikat Ibunya. Setelah lelah menari, kedua mata kecilnya seolah begitu rindu, hanya tertarik pada lampu penerang jalan yang mulai perlahan hidup. Terpesona.

Baginya, salah satu hal di dunia yang begitu penting baginya, hanya hidup lampu yang selalu menyala menyambut malam. Tak pernah ingkar untuk tak terang.

Seperti aku, yang hanya tertarik pada  sore, petang, dan angin lalu. Itu saja

27 Juli 2016, Jogja

Si Minoritas dan Tuhan

Teriakku, ku ingin seperti tanah! Kau injak, kau kencingi, kau ludahi, aku diam! Tak pernah marah.

Mimpiku, kuingin seperti batu kecil! Yang kau tendang keras, lalu diam kencang melayang, pecah terbentur tembok. Akhirnya, masuk tenggelam di selokan busuk. Aku akan terima nasib sebagai batu kecil!

Sumpahku, ingin ku menjadi udara! Yang tak pernah melawan dan tak ingin kelihatan. Kutuklah aku jadi udara. Aku akan terima bahagia!

Aku ingin lari seperti anjing kudisan!! Yang kau lempari batu besar, lalu takut melesat kencang menjauh tak tahu arah. Aku akan terima sebagai anjing kudisan.

Mulai saat ini, aku tak akan marah lagi, apapun itu yang terjadi karena semua yang terjadi memang karena ijinMu…

Sekali lagi, jatuhkanlah aku di cobaanmu yang paling terdalam. Aku akan terima.

8 Desember 2016,Jogja

Puisi Kepadamu Saja

Kuceritakan,

Banyak orang habiskan waktunya untuk menonton film-film terbaik dunia, sampai berlalulah satu hari yang dianggapnya tak sia-sia. Itu menyenangkan, kata mereka.

Beberapa orang rela mendengarkan musik-musik terbagus dunia untuk sekedar melewatkan hari yang dianggapnya biasa. Itu betapa membahagiakan jiwa, sebut mereka.

Kukatakan,

Satu dua orang pun mengaku  tak mampu untuk tak merokok dalam sehari, tiga empat orang menolak untuk tidak menyesap secangkir kopi dalam sela pekerjaannya. Tak tahan untuk melaluinya, keluh mereka.

Seringkali, mereka jauh-jauh hari juga rela menyediakan hari-hari terbaiknya untuk plesiran ke tempat-tempat terbagus. Hidup hanya sekali, rugi bila tak melihat dunia, kata bela mereka.

Namun, bagiku, waktu-waktu terbaik ketika melihatmu ada di sampingku, menahanku sebentar untuk tak meminum kopi yang masih panas dalam cangkir.

Untukku, saat-saat istimewa, ketika, kau menggodai anjing hitam peliharaanmu dan tak tahu, kau sedang kuperhatikan.

Terakhir, yang paling tak lupa, kau memintaku untuk tak tidur karena hari masih sore…

Jogja, November 2017